November 7, 2021

Mungkin Kau Tak Dengar

Mungkin kau tak dengar ketika aku bermimpi


dan wajahmu terisi orang lain


Bukannya sudah kubilang rumput pekarangan kalau tak disiangi akan mati


dan kini ia telah mati


Dan aku di sini, tersungkur di samping jejak terakhir tubuhmu


tak menangis, tak tertawa, tak merasa


Namun aku di sini


mungkin kau tak dengar?

Mati

Kita tak pernah patah hati, hanya beribu hampir

Dan ketika kita bertanya mengapa hidup begitu hambar kita lalu tertawa

Kita tak pernah jatuh cinta, hanya beribu hampir

Dan ketika kita bosan menanti kita lalu beranjak pergi


Mencari-cari kisah di perjalanan atau mencari jalan-jalan di antara kisah kita

Kita tersandung, terluka, dan berduka

Kita terpuruk, melarat, dan sekarat

Kita memikirkan kata-kata nelangsa untuk merasa semakin nelangsa


Dan ketika kita bertanya mengapa kita tidak pernah tertawa, hanya beribu hampir

Kita terbangun dari usap-usap yang membikin jidat panas

Kita tak pernah mati, hanya beribu hampir

Dan ketika kita bertanya mengapa mati terasa panas, kita sedang benar-benar mati

Taman-Taman yang Tutup

Malam itu penuh sorak anak-anak kecil yang gelisah. Sudah seharian listrik padam dan mereka kenyang bobo siang. Kota yang hening membuat kita bosan tidur. Semalam tanpa gemerlap membuat kita terjaga menatap satu sama lain. Kau sudah mati.

*

Kau yang di sana atau aku yang di sana? Daun-daun rontok seperti Bandung di bulan Agustus, jalanan yang keemasan melintasi taman-taman yang tutup. Orang-orang menjalani hari kemarin seperti hari ini. Esok tak akan datang.

*

Kau mengaburkan lamunanku yang terlanjur kemana-mana. TV yang menyala menyuarakan kejadian demi kejadian tolol yang terus terjadi setahun belakangan. Kau bilang jari-jarimu terasa dingin sejak minggu lalu kita terakhir bertemu.

*

Hari ini aku kembali memikirkanmu. Pada foto polaroid tertanda Maret, 89 itu aku mengenali pigura lukisan yang sama yang sekarang tertambat pada dinding kamarku. Lukisan cetak saring berbekas rendaman air di sana-sini.

*

Tetapi cerita kita tak lagi sama. Kau telah menjelma jam dinding tanpa baterai yang terus mengecohku untuk terus mempercayai gerakan tanganmu yang diam sementara kau dari balik kaca menatapku berbaring di bawah teritis teras kita. Tik-tok, tik-tok, tik-tok. Kau terus bunyi. Kau belum mati.


Sabtu Sunyi

Tidak ada berita pagi ini. Tidak ada tukang sayur. Tidak ada jadwal kereta. Kemarin, pukul 23:50 kereta terakhir berangkat dari stasiun, mengantar kami pulang untuk yang terakhir kalinya sebelum istirahat panjang dimulai.

Aku bangun dengan susah payah, langit yang masih gelap mengintip dari balik kerai jendela. Ah, tentu masih ada waktu. Lagipula, ini hari Sabtu, hari suci para pekerja yang patut dirayakan dengan istirahat panjang. Aku kembali terlelap.

Halaman kecilku tampak begitu teduh, siraman mentari pada pohon kacang polong meloloskan jejak-jejak komorebi2 di tanah berlumut. Aku memasak air panas dan menuangkannya ke dalam cangkir untuk menyeduh teh hijau. Hari ini kita boleh tenang.

Tidak ada telepon genggam yang dapat mengusik hari suci ini. Tepat sebelum meninggalkan kerja, kami menyimpan telepon-telepon kami di dalam loker untuk dikunci bersama gedung kantor dan segala isinya. Kau tahu, kami telah menjadi manusia yang patuh pada aturan, waktu bekerja adalah untuk bekerja, waktu istirahat adalah untuk istirahat. Dan hari ini adalah waktu untuk istirahat yang panjang.

Hari Sabtu tidak datang setiap minggu seperti masa sebelum. Aku sendiri belum terbiasa dengan perhitungan waktu masa sekarang, namun jika tidak salah, hari Sabtu di masa sekarang hanya datang di pekan terakhir bulan ketiga. Dalam setahun kini hanya ada enam bulan, dan pada bulan ketiga kami beristirahat untuk satu hari. Hari-hari sisanya kami gunakan untuk bekerja.

Kami telah menjadi manusia yang patuh pada aturan. Kau tahu, kami tidak lagi berulang tahun, menikah, dan merayakan apapun. Tidak ada lagi kelahiran dan kematian. Kita telah sampai pada puncak tertinggi kemajuan manusia.

Kematian tidak pernah datang dan kita tidak takut lagi. Berbekal keberanian ini, manusia dapat menjadi apa saja. Kita tidak perlu lagi merawat kesehatan dengan sebentar-sebentar beristirahat. Kita tidak perlu lagi mengatur kebahagiaan dengan perayaan di sana-sini. Kita tidak perlu banyak merasa karena tidak ada lagi kesedihan dan ketakutan. Pada puncak kejayaan manusia kita hidup untuk bekerja, memajukan dunia ini sampai batas selanjutnya terlihat.

Namun tentu aku masih ingat, samar-samar, mengenai kehidupan sebelum. Kita menangis, tersiksa, dan berduka. Kita tertawa, mencinta, dan bahagia. Semua terasa begitu berat, begitu ringan, dan kita semua menyebutnya hidup.

Sekarang, tidak ada siapa-siapa dan tidak ada apa-apa. Orang-orang yang dulu kukenal perlahan berubah menjadi pribadi yang seragam. Tidak ada lagi hal yang diluar perkiraan, tidak ada lagi kejutan dan masalah. Semua serba teratur dan terkendali.

Tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi rasa. Tidak ada lagi orang yang berpasang-pasangan. Kita semua hidup sendiri. Hari ini akan sama dengan hari-hari esok, begitu seterusnya, sampai Sabtu Sunyi hadir dan kita dapat beristirahat panjang sebelum memulai hari-hari yang sama lagi.

Kau tahu, kita telah menjadi manusia yang patuh pada aturan. Kita telah sampai pada puncak tertinggi kemajuan manusia.


Waktu-Waktu yang Dingin

Pada waktu-waktu yang dingin aku terus terjaga
Jari-jariku perlahan bergerak meraba dalam gelap
Meraih segelas lemon hangat yang kau buatkan untukku
Aku menyesapnya hingga ke dasar ceruk gelas,
tempat rasa-rasa manis yang tak teraduk rata masih tinggal
Berkilauan meski termakan waktu-waktu yang dingin
Di sampingku kau sudah kembali tertidur pulas
Nafas teratur membawa dadamu naik-turun seragam
Detak jantungmu menggantikan detik jarum jam,
bunyinya membuatku semakin terjaga
Pada waktu-waktu yang dingin

Malam-Malam yang Pudar

Kita berjalan mengitari malam-malam yang perlahan memudar, yang menyaru antara ingatan dan kenyataan. Bukankah sudah kita lewati jalan kecil berbatu-batu ini? Kau yang duduk di kursi kemudi mulai menangis. Aku yang sudah lama tak menemuimu sekejap tertegun. Adakah kata-kataku yang salah? Tangismu kian menjerit-jerit. Siapa juga yang mendengarnya jika bukan aku? Air matamu tak kekal lagi tak sedalam lautan. Namun di sinilah aku, dalam pelukanmu terhanyut genangannya.

Waktu-Waktu yang Tidak Sunyi (After A Quiet Life and A Pretty House)

Aku bisa bergurau dan kau bisa tertawa
Hanya itu yang kita bisa dan hanya itu yang cukup untuk kita
Berseberangan dan di antara kita lautan perasaan
Keras dan menakutkan, tapi kita tetap berlayar

Pagi belum biru dan aku terbangun oleh ciumanmu
Kita berjalan keluar imajinasi dan mendapati
pohon-pohon di pekarangan sudah lama tidak disiram
Sekarang waktunya kita bersiap-siap menuju sunyi

Siang itu aku pulang kepada hari tanpa telepon dan pesan teks
Hanya ada kau, sayangku, memandangku dari teras rumah kita
Aku tersenyum membalas menatap tahun-tahun kita bersama–
Menatap takdir yang membuat dan tidak membuat kita

Kertas

Dalam kertas yang menguning ada waktu yang mengering dan dalam bulir-bulir putihnya ada serat-serat kayu yang memanjangkan rasa ingin tahu kita yang tercuil dari pohon-pohon imajinasi yang tumbuh dari tanah gembur hasil usaha leluhur kita yang tak menahu bahwa kita juga bisa bermimpi

Putih

Seperti salju di dalam tanganku yang sesaat mencair
Di sana tersimpan waktu yang begitu lama membeku
Menjadi serpihan-serpihan dingin yang jatuh ke bibirku
Melumat menjadi ingatan yang tak bisa diam