February 4, 2022

Meditation on the floor

There is something meditative
About lying down on the floor looking at the ceiling
Its plainness
The shadows formed by the light bulbs
The uneven white paints
The cracked corners
All so white
So imperfect

January 14, 2022

Langit Kota

Deru asap berarak mengikuti hari yang segan dimulai

Kota yang berkelok-kelok membesarkan kisah-kisah semalam suntuk–

tentang semua yang hidup diatasnya,

yang bernafas, bekerja, dan menunda duka


Siapa sangka langit turut menguap bersama hujan tadi malam?

Sesaat meninggalkan kita dengan genangan dan kenangan

dari semua yang terburu-buru dan tertatih-tatih

dan orang-orang yang lupa melihat ke atas


Tidak ada lagi siapa-siapa di kota kita

Taman-taman gundul dan jalanan ambrol

Rumah-rumah berpagar besi tak lagi melindungi siapa-siapa

Di atas kita langit tinggal ingatan


How’s it feel to be at the center of magic

To linger in tones and words

I opened the floodgates

And found no water, no current, no river, no rush


― Japanese Breakfast, Paprika

Rindu

Di rumah kecil di atas bukit,

di bawah bintang-bintang yang menatap sayu,

Akhirnya dingin menyelimutiku

Hembusan angin yang bergulung

Membisikkan nina bobo yang halus

Menidurkan, melegakan

Memejamkan, menenangkan


Aku terlelap dalam dekapan musim

Langit di atasku membawaku berlayar mengarungi alam tidur


Malam itu bukan seperti yang lalu-lalu

Tidak ada barang sedikitpun suara sampai di telingaku

Tidak ada deru kendaraan dan tidak ada percakapan

Tidak ada gemerisik daun dan tidak ada gemericik hujan


Tidak ada pekik, pekak, kuak, riak, dan teriak!


Dan pada waktu-waktu yang sunyi ini mataku justru berkaca-kaca

Memantulkan hampa yang telah lama kucari

dan keasingan yang telah lama kurindukan

Di sini, di tempat yang jauh dari kota


Pandanglah kota di bawah yang megah dan sibuk sekali

Pandanglah redup oleh kesia-siaan yang mesra, karena

antara kota yang kita tinggali dan rumah kita sendiri

tiada hubungan lagi. Kita terasing dalam hidup kota berjuta

Padahal kita warganya setia yang cinta padanya


― Ajip Rosidi, Jembatan Dukuh


Pukul Dua

Pukul dua pagi aku biasa terjaga

Merenung menatap garis-garis di telapak tanganku

Tersesat dalam ingin-angan yang tak pasti

Untuk lalu tidur karena takut lama-lama mati


Jika besok aku masih hidup

Aku mau berjalan sampai ke langit

Tempat kota-kota kecil sembunyi dengan tenang

Aku akan tinggal di sana saja, dengan atau tanpa dirimu

November 7, 2021

Mungkin Kau Tak Dengar

Mungkin kau tak dengar ketika aku bermimpi


dan wajahmu terisi orang lain


Bukannya sudah kubilang rumput pekarangan kalau tak disiangi akan mati


dan kini ia telah mati


Dan aku di sini, tersungkur di samping jejak terakhir tubuhmu


tak menangis, tak tertawa, tak merasa


Namun aku di sini


mungkin kau tak dengar?

Mati

Kita tak pernah patah hati, hanya beribu hampir

Dan ketika kita bertanya mengapa hidup begitu hambar kita lalu tertawa

Kita tak pernah jatuh cinta, hanya beribu hampir

Dan ketika kita bosan menanti kita lalu beranjak pergi


Mencari-cari kisah di perjalanan atau mencari jalan-jalan di antara kisah kita

Kita tersandung, terluka, dan berduka

Kita terpuruk, melarat, dan sekarat

Kita memikirkan kata-kata nelangsa untuk merasa semakin nelangsa


Dan ketika kita bertanya mengapa kita tidak pernah tertawa, hanya beribu hampir

Kita terbangun dari usap-usap yang membikin jidat panas

Kita tak pernah mati, hanya beribu hampir

Dan ketika kita bertanya mengapa mati terasa panas, kita sedang benar-benar mati

Taman-Taman yang Tutup

Malam itu penuh sorak anak-anak kecil yang gelisah. Sudah seharian listrik padam dan mereka kenyang bobo siang. Kota yang hening membuat kita bosan tidur. Semalam tanpa gemerlap membuat kita terjaga menatap satu sama lain. Kau sudah mati.

*

Kau yang di sana atau aku yang di sana? Daun-daun rontok seperti Bandung di bulan Agustus, jalanan yang keemasan melintasi taman-taman yang tutup. Orang-orang menjalani hari kemarin seperti hari ini. Esok tak akan datang.

*

Kau mengaburkan lamunanku yang terlanjur kemana-mana. TV yang menyala menyuarakan kejadian demi kejadian tolol yang terus terjadi setahun belakangan. Kau bilang jari-jarimu terasa dingin sejak minggu lalu kita terakhir bertemu.

*

Hari ini aku kembali memikirkanmu. Pada foto polaroid tertanda Maret, 89 itu aku mengenali pigura lukisan yang sama yang sekarang tertambat pada dinding kamarku. Lukisan cetak saring berbekas rendaman air di sana-sini.

*

Tetapi cerita kita tak lagi sama. Kau telah menjelma jam dinding tanpa baterai yang terus mengecohku untuk terus mempercayai gerakan tanganmu yang diam sementara kau dari balik kaca menatapku berbaring di bawah teritis teras kita. Tik-tok, tik-tok, tik-tok. Kau terus bunyi. Kau belum mati.